The Weakest Point of You

mechanics-463011_1920

Sebanyak apapun ilmunya, setinggi apapun pangkat jabatannya, ia pasti memiliki kelemahan juga, yaitu pasangannya sendiri.

by : Kudou



Berbicara soal kakek, dia satu-satunya anggota keluarga yang tak terlalu akrab denganku. Aku dilahirkan dan dibesarkan di kota besar. Tapi kau jangan salah menilaiku, Kawan. Terlahir di kota besar tidak serta merta akan mencetak kepribadian yang hedonis dan individualis. Kedua orang tuaku selalu menanamkan nilai-nilai luhur yang terlahir dari kampung halamanku. Sehingga, walau tidak sering pulang kampung dan berkomunikasi dengan penduduk lokal di sana, aku masih fasih berbahasa daerah asalku dan memahami kepribadian asli penduduknya.

Orang bertalian darah denganmu sekalipun, jika kau jarang menjalin komunikasi langsung dengannya, kau akan anggap dia seperti orang asing. Seperti kakekku ini. Namun semenjak aku ditempatkan di daerah tempat kakekku berada, aku harus lebih mengakrabkan diri dengannya.

Usianya sudah menginjak 70 tahun. Di usianya yang senja, ia masih mampu melihat dengan jelas tanpa alat bantu, walau dengan ukuran sekecil semut api. Dulu, sehari-hari ia bekerja di sebuah toko mas di pasar dan terkadang menjadi tukang reparasi jam tangan. Matanya sudah terlatih akan hal-hal yang detail. Maka tak heran, walau hidup seorang diri, rumah yang ia tempati terurus dengan begitu baik. Karena begitu ia melihat susunan buku-bukunya berubah karena aku, ia bakal segera protes.

“Itu sudah kakek susun sesuai abjad. Kenapa susunannya jadi berubah seperti ini, Ri?”

Lalu ia akan menyusunnya kembali seperti awal. Belum lagi susunan piring-piring di dapur yang harus sesuai warna dan ukuran piringnya, sendal dan sepatu sesuai ukurannya, bantal-bantal di sofa yang harus berdiri secara diagonal, bahkan yang lebih parahnya,

“Jenggotmu perlu dicukur, Ri. Lebih panjang dari satu sentimeter akan membuatmu tak gagah.”

Awalnya aku selalu membatin karena aku tak suka terkekang dengan peraturan tak tertulis seperti ini, terlebih sering terdengar tak logis. Tapi lama-kelamaan aku mendadak terbiasa dan membuat teman se-puskesmasku heran.

“Ya udahlah, Ri. Blanko ini lebih sering dipakai ketimbang yang ini, jadi yang ini diletakkan di atas yang ini.”

“Tak bisa begitu, Fi. Susunannya harus dari yang terkecil sampai yang terbesar, seperti ini.”

Atau,

Ngapain kamu susunin botol sirup itu, Ri? Kan itu bukan tugasmu. ”

“Mereknya harus menghadap ke depan semua, Ka. Biar gampang lihatnya.”

.

.

Hampir sebulan aku tinggal bersama kakekku. Sekarang, hidupku berjalan dalam ritme yang konstan, kecuali di puskesmas karena jumlah pasiennya yang berbeda-beda tiap harinya. Sesuai kebiasaan tak tertulis sebelumnya, pagi ini seharusnya kakek sudah duduk manis membaca koran di ruang baca. Tapi kenyataannya tidak.

Aku pun berjalan menuju kamar kakek dengan jantung berdebar. Karena akhir-akhir ini aku terlalu sering menerima kasus lansia yang terkena stroke, bisa saja kakek tengah tak sadar di dalam kamar. Sedikit tergesa aku mengetuk pintu kamarnya empat kali.

Mulutku mengucap syukur saat kakekku segera membukakan pintunya untukku.

“Sudah kakek bilang, ketuk pintu itu cuma boleh tiga kali.”

Alih-alih menanggapi, aku langsung bertanya, “Kakek ngapain di dalam? Koran paginya nganggur tuh di ruang baca.”

“Kakek lagi perbaiki jam kakek. Tapi kok nggak hidup-hidup.”

“Baterainya habis kali, Kek?”

“Baterainya gak ada masalah, masih mau tadi dicoba pakai voltmeter.”

Karena aku tidak mengerti masalah reparasi jam, aku tak bisa menduga-duga penyebabnya ataupun menawarkan solusi kepada kakekku yang mendadak murung seperti ini.

“Kamu bisa temankan kakek ke pasar sekarang?”

“Hah? Sekarang banget, Kek?”

“Iya. Golden period-nya hanya 6 jam. Tadi jarumnya di angka empat pas, jadi cuma tersisa tiga jam lagi. Angkot ke kota akan lewat di depan rumah seperempat jam lagi. Kau harus bersiap-siap. Kakek tunggu di luar.”

Aku hendak bertanya dari mana ilmu golden period tentang jam tangan rusak itu berasal sekadar berbasa-basi. Namun kakekku sudah terlebih dahulu menutup pintu. Ah, sudahlah, aku harus melewatkan kartun pagi mingguku hari ini.

.

Sepanjang perjalanan, kakek bercerita tentang bagaimana kisahnya merintis usaha toko mas dan reparasi jam, dimana itu profesi yang terbilang elit dimasanya. Walau aku sudah mendengarnya belasan kali, aku masih berusaha menanggapinya setulus mungkin. Tapi angkot ini berjalan terlalu pelan dan membuatku semakin terkantuk-kantuk, terlebih harus mendengarkan cerita yang sudah berulang kali diceritakan. Aku pun melayangkan pertanyaan interupsi sebelum kakekku masuk ke topik sebelah-toko-kakek-dulu-ada-jual-sate-padang-terenak-tapi-sekarang-pemiliknya-sudah-meninggal-dan-rasanya-sekarang-sudah-berubah.

“Jamnya kakek beli dimana itu, Kek?”

“Oh, ini pemberian almarhumah nenekmu. Ini merek yang langka, Ri. Nenekmu beli jam ini di tanah suci. Sepasang. Tak ada orang yang menjualnya di Indonesia.”

Aku melirik mereknya. Seiko. Merek yang begitu populer menurutku karena terlalu sering kulihat di pajangan toko jam maupun situs jual beli online. Aku yakin jam model ini pasti sudah masuk di Indonesia. Baru saja aku hendak menyampaikan pendapat tak setujuku, kakekku mengatakan hal yang begitu retoris.

“Mungkin sekarang sudah ada di Indonesia, tapi tetap saja yang ini spesial dibelikan oleh nenekmu, Ri.”

.

Hampir seperempat jam kami berdua berkeliling di tengah pasar, namun kami begitu kesulitan mencari tukang reparasi jam. Maklum, aku belum pernah ke pasar ini ditambah lagi kakek yang sudah mulai pikun dengan denah di pasar.

“Dulu pasar ini rasanya tak sebesar dan sepadat ini, Ri. Belum ada orang jual kacamata reben di tepi jalan seperti ini,” ujar kakek saat melewati belasan etalase yang memajang kacamata dengan harga yang murah meriah.

Kami terus berjalan. Dan akhirnya kami menemukan sederetan tukang reparasi jam tangan dengan beragam bentuk etalase. Umur mereka rata-rata setua bapakku, bahkan ada yang lebih muda. Namun, inilah yang membuatku khawatir.

“Ini sudah rusak parah, Pak.”

“Ini jam langka. Barang antik. Tak berani saya utak-atiknya, Pak.”

“Saya sudah coba ganti baterainya dan membersihkan mesinnya. Tapi tetap tak mau hidup, Pak.”

Kakek mulai risau. Dia tampaknya masih berharap jarum jam tangan Seiko-nya masih bisa berputar, tak peduli harus mengeluarkan kocek yang lebih banyak dari harga normal. Namun, hampir seluruhnya menolak tanpa berusaha lebih lanjut setelah mengetahui tahun produksi jam tersebut.

Hari pun menunjukkan pukul dua belas siang dan kakek memutuskan untuk beristirahat di pelataran masjid di tengah pasar. Dia mengipasi wajahnya yang berpeluh sambil menatap kosong ke depan.

“Kek, kita ikhlaskan saja ya jamnya?”

Mendengar kalimatku tadi, kakek langsung melempar tatapan tajam ke arahku, “Tidak bisa begitu, Ri. Ini nenekmu, nenekmu ada di sini.”

“Nenek sudah di alam lain, Kek.”

Kakek hanya menunduk dalam. Ia kembali mengusap-usap jam seiko berharganya tersebut dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia menatapku kembali dengan air muka yang lebih tenang.

“Kau benar, Ri. Tapi Kakek tetap kecewa tak bisa menghidupkan jam ini lagi. Melihat jarum jam ini bergerak seperti melihat nenekmu hidup, Ri. Ah, Kakek tak mampu menjelaskannya dengan kata-kata, tapi kuharap kau mengerti.”

Sejujurnya aku tidak begitu mengerti, tapi aku mencoba untuk menganggukkan kepalaku.

Kakek pun melanjutkan, “Kakek dulu pandai dan mahir mereparasi jam tangan. Sampai sekarang pun kalau kamu mau menguji Kakek memperbaiki jam kamu mungkin Kakek bisa melakukannya. Tetapi mengapa Kakek tak mampu memperbaiki jam peninggalan nenekmu ini? Kakek seperti membenci diri Kakek sendiri, seperti seorang dokter membenci dirinya yang tidak mampu mengobati istrinya yang sedang sakit.”

Aku pun terdiam. Membayangkan tak bisa mengobati istri sendiri padahal sendirinya adalah seorang dokter membuat bulu kudukku berdiri. Aku berharap hal itu tak akan pernah terjadi.

“Tapi begitulah manusia. Sebanyak apapun ilmunya, setinggi apapun pangkat jabatannya, ia pasti memiliki kelemahan juga, yaitu pasangannya sendiri. Itu sepertinya sudah menjadi takdir manusia sepertiku, Ri. Ilmuku ternyata tak bisa kuterapkan pada jam pemberian nenekmu ini.”

Tanpa kusadari, tanganku meraih bahu kakekku dan memeluknya erat. Aku kembali belajar sesuatu darinya.

 

the end



photo source : https://pixabay.com/en/mechanics-movement-feinmechanik-463011/

author’s note :

  • Halo, perkenalkan namaku Dhila. Senang bisa berada di blog yang lovely ini. 😀
  • Fiksi ini terinspirasi dari salah satu 100 prompts challenge kak dhamala yang nomor #3 Broken Wristwatch (Makasi banyak kak promptnya :D)
  • Salam kenal semuanya! Selamat membaca fiksi debutku ini (deg2an sumpah pas mosting ini .-.) dan mohon kritik dan sarannya:).

13 thoughts on “The Weakest Point of You

  1. dhamalashobita

    Aku sudah bacaaa! Hehehe. Bagus banget ceritanya, maknanya dalem dan gak melulu soal cinta-cintaan.

    Ah, selamat debut, Dhila! Hehehe. Semoga selalu bisa memberikan cerita2 oke. 😀

    Keep writing! 😘

    Liked by 1 person

    • dhila_アダチ

      Kak mala datang! Halo kak 😀
      Makasi banyak kaak supportnya. Aaamiiin :^ Aku masi perlu belajar banyak biar terbiasa bikin cerita agak bernas *?* macam ini kak :^ biar bisa sering2 isi blog ini juga, hehehe..
      Keep writing juga kaak! Sukses selalu buat kakak 😀

      Like

  2. anonimjeon

    ihhh tulisannya bagus kak dhila… rapih^^ aku inget tadi kakak ngomong,”masuk BIW pengennya manggil kakak soalnya tulisannya bagus” kakak sendiri udah diterima di BIW kak heheh selamet yah kak..
    dan aku terhura, kakeknya sweet banget>,< masyaallah 🙂
    keep writing kak,<3

    Liked by 1 person

  3. dhila_アダチ

    Huhuhu, alhamdulillah, smoga bisa aku pertahankan ya Yu.. :^
    Aku ngidam punya kakek sbnernya, kayaknya asyik gitu denger cerita dari kakek2, hahahaa…
    Makasi banyak ya Yu, keep writing jugaa 😀

    Like

  4. aurora

    KAK DHILA, HALO! ini ceritanya totally relate sama aku kyaaa, soalnya aku pun juga masih nggak akrab sama beberapa anggota keluargaku 😦 padahal udah kenal lama loh, tapi kalo ketemu awkard gt meanwhile sama temen-temen yang baru kenal pas remaja udah saling tau aib masing-masing aja. di situ aku syedih.

    kembali ke fiksi kak dhila, aku suka deh karakter si kakek di sini! kalo masih muda mungkin aku udah kepincut sama si kakeknya HAHAHAHA. soalnya kakeknya rapi sih, aku suka cowok rapi ❤ dan terakhirannya omaigaaaaaaat si kakek ini sayang banget ya sama neneknya, aduh makin lemah deh sama pasangan yang setia sampe tua begini, relationship goals banget dha. iya bener, orang-orang tuh mau sekuat apa pun juga, kalo dihadepin sama pasangan mah ((apalagi kaum cowok nih)) nunduk juga HAHA.

    anyway kak dhila, mau koreksi dikit yaa. 'apapun' dipisah jadi 'apa pun' ehe, udah itu aja sih. keep writing kak dhila ❤

    Liked by 1 person

    • dhila_アダチ

      Halo juga ais!
      Aku gak sndiri trnyata :^ iyaa, paling susah kalo punya sodara banyak tapi baru dikenalin pas kita udah gede itu, susah akrabnya :^
      Hihihi, sama X) cowok rapi itu emang nyegerin mata #eh Smoga kita sama sijodoh tetep langgeng sosweetnya sampai tua ya, aamiiin #baper=,=
      Wah, makasi ya koreksinyaa. Aku memang lemah di masalah perspasian ini :^ Keep writing juga buatmu Ais, makasi banyak dah mampir 😀

      Like

    • dhila_アダチ

      Haloo kaklen 😀
      Aku terharu kalo kakak suka :^ manisnya gak bikin diabet ya..xD
      Iyaa, dia jadi kebawa2 sifat ‘ocd’ kakeknya gitu gegara suka diomelin kakeknya..xD
      Makasi banyaak udah mampir ke sini kaklen! 😀

      Liked by 1 person

  5. ANee

    uwoooooo kakeeekkkk romantis sekaliii … 😘😘 kusuka kusuka!!! jadi kangen kakek T__T bikos blm sempet ngobrol asik sama beliau pas aku udah segedhe ini. huhu duh, maafkeun malah curhat. 😦

    fiksimu ngaliirr gitu, dhil … bahkan ngga ketebak endingnya bakal gimana (kalau menurut aku lho ya hehe). oiya, apa pun itu dipisah ya, sama ada penggunaan elipsis yg kurang tepat, dhila. tapi gpp, over all, idemu ini brilian! pokok.e aku sukaaaaa!!!!! keep writing!! ^^

    Liked by 1 person

    • dhila_アダチ

      Halo Ani! ^^
      Waah, kalo kakekku udah pergi pas aku masih kecil2 😦 makanya cerita ini sotoy banget sbnre..xD
      Huhu, alhamdulillah..aku seneng kalo kamu suka. Sebenernya endingnya kuubah di detik2 terakhir. Aslinya mah mau dibikin berchapter tapi gakuad xD
      Oiyaa, oke ntar aku edit pas ktemu laptop 😀
      Makasi banyak ya sarannya dan kunjungannya! Keep writing juga buat Ani 😀

      Liked by 1 person

Leave a comment